"Bukanlah seorang mukmin, Jika saudaranya merasa tidak nyaman dengan perkataannya".

Kamis, 16 Desember 2010

GARAM dan TELAGA

Suatu ketika, hiduplah seorang Tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu langsung menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarknannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan minta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya…”, ujar pak Tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”.jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan di dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini dan mninumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”

“Segar.” Sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di air itu?”, Tanya pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan bergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu, menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu, lalu kembali memberikan nasihat. “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari ini. Dan pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Kamis, 25 November 2010

Mahkota terindah untuk Ummi....

Assalamu'alaikum. Semoga hidayah Allah kita senantiasa bertambah; baik hidayah ilmu maupun amal. Alhamdulillah syukur puji kepada Allah atas semua karunia-Nya. Ada kisah bagus dari pesan yang baru saya baca. semoga bermanfaat dan bisa diambil pelajarannya...,

..................................................................................................................................................................

Namanya zahra, dia masih duduk di bangku kelas empat sebuah Sekolah Islam terpadu di pinggiran jakarta. saat aku cerita kalau aku sering dipanggil Ayah, dia malah menimpali "kalau aku panggil Abi mau mi?" hhmmm....untung saja waktu zahra bilang itu uminya lagi urus si kecil adiknya zahra.

"Ami..." dia memanggilku setengah teriak saat aku hendak meninggalkan rumah mungil itu, urusanku dengan Abinya telah usai. "Ada apa zahra?.." jawabku sambil menoleh ke belakang dan mendekati Zahra yang juga terlihat mendekatiku. "Ami nunduk dong biar zahra bisa bisikin ke kuping Ami" pintanya.

"Subhanallah..." Aku kaget setengah mati saat denger bisikan dari Zahra. "Doakan sebelum lulus SD Zahra bisa semuanya ya Mi" pintanya padaku.

Aku lupa nama lengkapnya, aku lebih suka memanggil Zahra atau kadang "nak". di usianya yang baru kelas empat, dia sudah bisa menghafal lebih dari setengah Al Qur'an mulia.

Kata umi, "kalau Zahra bisa menghafal semua isi al Qur'an, nanti Zahra bisa memakaikan mahkota yang paling cantik yang ada di akhirat. dan umi mau sekali memakai mahkota itu mi" ceritanya beberapa waktu yang lalu saat kutanya motivasinya menghafal al Qur'an.

"Ami.... Zahra cinta ama Umi. saat zahra tanya ke Umi, apa yang Umi mau dari zahra, Umi jawab begitu. Zahra ingin tunjukkan, kalau zahra cinta Umi, dengan menghafal al Qur'an itu Mi" tambahnya. "zahra pernah liat umi menangis saat Zahra berjanji akan menghafal Al Qur'an sebelum lulus SD" terus Zahra bercerita, matanya mulai berkaca-kaca.

"Oya Mi, tunggu ya..." zahra meninggalkanku sendiri menunggunya di hadapan rumahnya. tak lama berselang, Zahra kembali membawa sebuah surat ucapan berwarna pink, gambar bunga. "Nih buat Ami..." katanya sambil menyodorkan surat itu padaku. "makasih Zahra, boleh Ami baca sekarang?". "Jangan! nanti saja selesai sholat ashar. Kalau bisa dalam keadaan berwudhu ya Mi" pintanya.

Di sebuah masjid, setelah aku berdoa seusai shalat Ashar, aku hendak berdiri dan meninggalkan masjid itu, terlihat di file yang kubawa kartu merah jambu itu. "Astaghfirullah, itu dari Zahra" batinku. Segera saja aku ucap basmalah dan kubuka.


Isi Surat:

"Ami Kusnan yang Zahra cintai karena Allah, Ingin zahra katakan kalau zahra sangat mencintai Ami. tapi apakah Ami mencintai zahra?. Jika iya, zahra minta satu hal dari Ami. Ami juga menghafal al Qur'an ya, biar nanti ibu Ami menjadi wanita paling bahagia di Syurga, karena memakai mahkota tercantik pemberian anaknya yang hafal al Qur'an."

salam sayang

Zahra

Sore itu, langit selatan jakarta mencung, hatiku ikut mendung, air matapun tak bisa kutahan, ia mengalir, kerinduan dengan Bunda membuncah,

"Astaghfirulloh, Zahra...kaulah guruku, guruku yang mulia. jujur Ami malu padamu nak" batinku

Ami mencintaimu, sangat mencintaimu, Ami juga mencintai Ibu Ami, Tapi..... kini dia tlah pergi..........

Nb : 'Ami; paman

semoga bermanfaat...^_^